Kembali ke Artikel
Akhirnya Aku Jadi Kepsek Penulis Sumber Gambar: Dokumentasi Penulis
25 Aug/2019

Akhirnya Aku Jadi Kepsek Penulis

Akhirnya Aku Jadi Kepsek Penulis

Oleh Aan Nurchayati, M.Pd.

 

Kegiatan tulis menulis itu bukan hal baru buat aku. Karena hobi ini sudah tumbuh sejak masih duduk di sekolah dasar. Paling suka melihat tulisan ibu guru wali kelasku dulu di kelas 5. Namanya Ibu Maeni (alm). Beliau kalau mengajar menulis menggunakan tulis sambung yang bagus dan rapi. Aku bisa menirunya dan sangat suka.

Bekal hobi menulis itu timbul saat selalu disuruh menulis pelajaran di depan kelas oleh guru. Karena keterbatasan kami dulu saat sekolah, belum ada murid beli buku paket apalagi mengerjakan LKS. Kami benar-benar dituntut untuk lancar membaca dan menulis. Dengan mendikte atau meniru dari papan tulis. Makanya, anak dulu jago-jago dalam menulis.

Membaca buku cerita juga hobi lain aku. Kalau sudah baca ya lupa waktu. Sehari bisa selesai lima buku loh. Dengan tebal yang beragam di atas 100 halaman tentunya. Gak salah, kalau sekarang matanya sudah minus 3. Karena kecilnya banyak baca sampai ketiduran. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tak bisa lepas dari keseharianku. Karena hidupku lebih banyak menyendiri dalam kesepian. Hidup berdua dengan nenek yang sakit kena stroke.

Berbagai even lomba menulis aku ikuti. Walaupun harus berakhir dengan kekalahan. Tapi, tetap bangga dan bahagia hingga akhirnya bisa mendapat juara 1 dan lolos sampai provinsi saat masih duduk di kelas 1 SMK.

Selain itu, siapa yang menyangka jika dewasanya aku bakal menjadi seorang guru? Padahal cita-citanya bukan itu. Dan yang lebih di luar dugaan adalah karena aku bisa menjabat sebagai kepala sekolah dan juga ketua yayasan. Mimpi apa aku waktu itu? Tidak ada. Terpikirkan saja tidak. Suamiku saja tak tahu saat aku mendirikan sebuah yayasan pendidikan. Tapi mengalir saja bagai air.

Belum puas rasanya jika bakat itu harus terhenti sampai fase kehidupan berumah tangga. Karena banyak buku harianku yang menggangu pikiran suami. Hasilnya, dia tak pernah membolehkan aku untuk menulis apa pun lagi. Baik di buku harian maupun di laptop. Di kertas-kertas saja harus selalu siap dengan masuk pembakaran sampah.

Padahal, waktu itu aku sangat ingin menjadi penulis. Diam-diam, tanpa pengetahuan suami, aku terus menulis dalam buku folio ukuran besar. Buku itu pun kena razia juga akhirnya. Aku putus asa. Sudah tak ingin lagi menulis. Keinginan menjadi penulis besar sirna. Jangankan penulis papan atas, penulis yang hanya memiliki buku sendiri saja sudah tak berani. Takut melukai hati suami. Dan tentu saja takut kena razia lagi.

Pada 2012 awal aku mengenal Facebook. Itu pun anak sulungku yang kelas enam yang membuatkan akun. Berselancar di dunia maya, berteman dengan suami, juga banyak menghambat ide-ide yang ingin aku tuangkan. Apa yang aku posting selalu saja dikritik dan tidak boleh ditampilkan. Apalagi meng-upload foto pribadi. Tentu saja dia akan sangat marah. Hingga akun FB aku dibajak. Password-nya dia ganti. Dan aku tidak bisa lagi bermain FB.

Akhirnya datanglah aplikasi BBM. Dengan ponsel modal kredit, bermainlah aku dengan aplikasi tersebut. Ah, tetap saja. Kena razia dan disita. Pokoknya tidak boleh aku menulis sesuatu apalagi berbau curhatan. Menulis sekadar mengungkapkan keindahan alam saja tetap tak boleh. Rasanya ingin menjerit. Ke mana lagi aku tumpahkan keinginan menulis ini? Rutinlah surat terkirim kepada sang Mama di kampung halaman. Atau kepada sahabat kala SMK yang ada di seberang perantauan. Nikmat kalau sudah terima surat balasan.

Dunia semakin canggih. Pendidikan akademikku juga makin ditingkatkan. Tugas kuliah adalah pelampiasannya. Menghasilkan uang sekadar untuk biaya tambahan jajan kuliah dan beli laptop baru. Dan pergaulan yang sedikit merebak ke dunia pendidikan yang lebih luas mengantarkan aku menjadi orang yang eksis dalam kegiatan.

Surat menyurat menjadi makanan aku saat masih duduk di bangku sekolah sebagai sekretaris. Even lomba karya nyata sebagai kepala sekolah PAUD aku ikuti. Eh, berhadiah dan bersertifikat. Suami juga makin dewasa. Makin mengizinkan aku dengan hobiku. Alhamdulillah, saat lampu hijau menyala, dukungan mengalir, dan fasilitas mendukung, kini aku mencoba menjadi diriku. Apa yang dicita-citakan saat masih remaja dulu ingin aku capai.

Menjadi penulis. Mempunyai buku sendiri. Sempat kehilangan arah dan masa depannya. Tak ada latihan dan pengajaran yang bisa didapat. Selain tulis menulis biasa saja sebagai penulis recehan. Menulis status gak jelas dan tanpa makna. Tapi ternyata, dari ungkapan-ungkapan, komentar-komentar yang diberikan pecinta postingan status FB yang pada akhirnya akun dikembalikan suami. Mereka suka. Aku suka. Akhirnya marwah menulis timbul kembali.

Alhamdulillah, pada 2019 adalah pencapaian yang tak terkira nikmatnya. Selain cita-cita lain yang bisa diraih, ternyata Allah juga pertemukan dengan MediaGuru yang super keren. Di sinilah, aku merasa terlahir kembali. Diawali dengan buku antologi Guru Mulia Karena Karya semangat itu tumbuh. Lomba yang sudah memberikan kontribusi finansial membuat lampu hijau suami menyala bahkan mendukung sepenuhnya jika pun harus mengeluarkan biaya.

Panjang umurnya. Jika seorang bisa menghasilkan karya sebuah buku maka dia tengah memperpanjang umurnya. Untuk bisa dikenang orang banyak. Walau jiwanya mati, raganya terkubur tanah TPU, tapi karyanya akan terus dilihat dan dinikmati orang lain. Sehingga dirinya tetap hidup dalam kematian.

Buku pertama sebagai antologi berjudul Guru Mulia Karena Karya disusul dengan antologi kedua Best Practice, ketiga Indonesia is We, buku keempat Lebaran Unik, kini lahir buku kelima sebagai buku solo perdanaku dengan judul Berkhayal ala Guru PAUD. Akhirnya aku bisa jadi kepsek penulis, Maaaaak! Ada bonus lain pula. Sebagai guru dan dosen adalah di luar impian masa kecil. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang. Terima kasih, ya Rabb.

 

*Aan Nurchayati, M.Pd. adalah Guru di SMPI dan Ketua Yayasan di YAMIGI.

 

 

 

JELAJAH