Kembali ke Artikel
Aku Sayang ‘Ibuku’
19 Jul/2019

Aku Sayang ‘Ibuku’

Oleh Siti Nuro’ifah, S.Pd.SD.

Namaku Galih. Aku anak terakhir dari 4 bersaudara. Umurku sekarang 15 tahun. Aku sekarang kelas 8 di sebuah SMP swasta. Sebenarnya aku membenci diriku sendiri. Membenci takdirku sebagai Galih Putra Wijaya. Kenapa aku tidak seperti teman-temankku yang lain. Mereka memiliki keluarga yang sangat harmonis. Tidak seperti diriku.

Ayahku selalu bersikap keras kepadaku. Dia tak segan-segan memukulku jika aku bersikap tidak sesuai dengan kehendaknya. Dan lagi, aku sangat membenci suasana seperti ini. Saat aku pergi bermain dengan teman-temanku sewaktu SD dulu, sepulang sekolah aku memang tidak langsung pulang. Aku bermain dengan Joni, Dian, dan Zaky di lapangan desa. Karena terlalu asyik bermain sepak bola yang menjadi hobiku hingga aku lupa waktu. Dan benar saja ayah mencariku dan dia menemukanku masih berseragam yang penuh kotoran tanah akibat tendangan bola dari teman-temanku. Tanpa basa basi, pukulan keras mendarat di tubuh kerempengku. Aku meminta ampun ayahku. Tapi sia-sia dia terus saja memukulku dan menyeretku untuk pulang. Aku yang masih duduk di kelas 3 saat itu menangis dan marah pada ayahku. Tapi aku tidak berani melawannya.

Sesampai di rumah ibu menenangkan aku. “Makanya kalau sepulang sekolah pulang dulu, ganti baju terus makan baru izin main sepak bola,” nasihat ibu dengan sabar sambil membantu melepas baju seragamku.

Aku yang masih terus menangis sesenggukan hanya bisa diam. Batinku bergumam, kenapa teman-temanku yang lain tidak dipukul ayahnya. Mereka hanya dipanggil untuk pulang. Sudah itu saja. Tapi tidak dengan ayahku. Dia sejak dulu memukulku jika aku melakukan kesalahan menurutnya. Hingga aku rasanya sudah bosan menerima pukulan ayah. Dan ibuku hanya bisa diam melihatku. Seolah ibu juga tidak peduli dengan diriku.

Aku memang anak yang nakal kata ayah. Setiap ayah marah dan memukulku kata-kata itu selalu kudengar. Dan saudara-saudaraku yang lain tidak peduli denganku. Saat itu aku juga tidak begitu peduli dengan sikap kakak-kakakku. Kak Irfan dan Kak Radis sedikit pun tidak peduli. Hanya Kak Irma yang agak peduli, tapi kadang juga cuek.

Di sekolah teman-temanku juga selalu menyebutku anak nakal. Iya aku memang suka menganggu teman-temanku terutama temanku yang cewek. Aku selalu menjahilinya. Saat itu pula aku ingin menunjukkan kepada teman-temanku. Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku bukan anak yang lemah seperti yang mereka lihat saat aku dipukuli ayah. Aku juga tidak segan-segan memukul temanku jika mereka tidak sejalan dengan kehendakku. Dan aku sadari bahwa aku telah melampiaskan kekesalanku pada ayah ke semua temanku. Hingga akhirnya aku dicap sebagai anak nakal, jahil, dan bodoh. Iya. Nilaiku selalu terendah dari seluruh teman sekelasku. Hingga akhirnya aku harus tinggal di kelas 3 lagi. Dan ayahku semakin memarahiku, memakiku dan tidak lupa memukulku.

Sejak itu pula aku diikutkan bimbingan belajar (bimbel) di guru kelasku Bu Hanum. Namun aku mengikuti bimbel tersebut tidak sepenuh hati. Saat itu aku hanya ingin bebas, aku ingin didengar, aku ingin dipeluk, di puja, dan disayang oleh ayah, ibu, dan saudara-saudaraku seperti teman-temanku lainnya. Tapi saat itu juga aku selalu dibilang aku ini bodoh, nakal, sehingga tinggal kelas oleh mereka. Dan semakin orang-orang terdekatku mencaciku, aku semakin ingin berontak. Dan lagi, aku ingin menunjukkan kepada teman-temanku bahwa aku tidak lemah tidak seperti yang mereka pikirkan.

Sejak itulah orang tuaku selalu mendapat surat panggilan dari Bu Hanum. Tapi surat-surat itu sengaja aku buang. Aku tidak mau ayahku memukulku. Dan akhirmya aku menjadi anak yang pandai berbohong. Setiap Bu Hanum menanyakan kenapa orang tuaku tidak memenuhi panggilan sekolah, aku selalu mencari alasan agar Bu Hanum percaya terhadap jawabanku. Hingga akhirnya Bu Hanum sendiri yang datang ke rumah. Karena Bu Hanum sangat mengkhawatirkan sikapku yang semakin hari semakin membuat resah teman-temanku.

Aku juga sering tawuran dengan teman sekelas bahkan antar sekolah. Karena alasan inilah Bu Hanum pergi menemui ibuku di rumah tanpa sepengetahuanku. Mungkin Bu Hanum banyak bercerita tentang kenakalanku di sekolah. Entahlah aku tidak tahu. Karena sepulang sekolah ayahku langsung menyambutku dengan pukulan yang penuh amarah dan ibu juga memarahiku. Kakak-kakakku juga ikut menyalahkanku. Lagi-lagi, aku tidak berdaya di depan keluargaku.

Ibuku mungkin tidak tega melihat aku yang terus dipukuli ayah beranjak pergi sambil menangis. Dan hanya Kak Irma yang meminta ayah untuk menghentikan pukulan dan amarahnya. Ayah pun berhenti memukulku sambil pergi meninggalkanku dan berkata, “Dasar anak tidak berguna! Pergi saja dari sini ikut ibumu, kalau kamu tidak bisa jadi anak yang nurut!”

Dan kata-kata itu sering aku dengar dari mulut ayah ketika dia sangat marah kepadaku. Sambil memelukku dan menangis Kak Irma membantuku berdiri tapi aku tidak memedulikannya dan terus menangis. Akhirnya, Kak Irma juga meninggalkan aku sendiri di ruang tamu. Hingga aku tertidur.

Tiba-tiba ibu membangunkanku sambil menggoyahkan tubuh kurusku, “Galih bangun, ayo mandi. Waktunya kamu ngaji, Nak.”

Aku terbangun dan memandang wajah ibuku. Aku masih ingat ucapan ayah sebelum meninggalkan aku pergi tadi. Aku beranikan bertanya pada ibu sambil meneteskan air mata sesenggukan, “Bu, aku bukan anak ibu. Lalu siapa ibuku, Bu?”

Kamu ini ngomong apa sih, Lih. Kamu ya anak ibu,jawab ibu sambil pergi meninggalkan aku.

Lalu aku mengikuti ibu sambil terus bertanya, “Kalau memang aku anak ibu, kenapa ayah selalu bilang untuk pergi mengikuti ibuku, Bu?”

Sambil menyapu ruang tidurku ibu menjawabnya, “Ayahmu kalo lagi marah ya begitu, Lih, tidak usah kamu ambil hati.

Aku terus mendesak ibu. “Tapi, Bu, orang-orang di luar sana juga pernah bilang padaku, bahwa ibu bukan ibu kandungku,” lanjutku.

Lalu ibu terdiam sambil menunduk menatap wajah dan memegang pundakku. “Kalau bukan ibu kandungmu, kenapa ibu harus rela merawatmu yang cengeng ini?” jawab ibu sambil memencet hidungku.

Aduh! Sakit, Bu,” teriakku kesakitan.

Itu artinya bahwa kamu itu bau dan segeralah mandi sana! Sudah sore. Jangan sampai ayahmu nanti marah lagi karena kamu tidak pergi mengaji hari ini,” sahut ibu.

Maafkan aku, Bu, aku ini memang anak nakal,” sahutku sambil pergi untuk bergegas mandi.

Namun akhir-akhir ini aku mengetahui tentang siapa diriku yang sebenarnya. Ya! Ternyata aku memang bukan anak ibuku yang merawatku dari bayi ini. Dia ibu tiriku. Ibu kandungku sendiri tega meninggalkan aku bersama ibu tiriku dan ayah kandungku. Mungkin ayahku sebenarnya membenci ibuku. Namun, dia hanya bisa meluapkan semua padaku. Ibu kandungku adalah istri muda ayahku yang saat itu usaha kayu dan meubelnya sedang ramai-ramainya.

Ayahku adalah pengusaha kayu dan meubel. Ibu kandungku yang tega merebut cinta dari ibu tiriku, istri pertama ayahku. Tapi entahlah. Itu hanya pikiranku saja. Hingga akhirnya lahirlah aku. Namun, aku tidak tahu mengapa ibu tega meninggalkan aku dan ayah. Ibu tiriku yang baik hati ini rela merawatku hingga sekarang aku beranjak dewasa. Dan kakak-kakakku juga rela menerima keberadaanku. Namun, aku tahu sebenarnya perasaan mereka kepadaku. Aku tidak menyalahkannya.

Aku juga tahu sebenarnya ayah sangat menyayangiku. Tetapi ayah mungkin marah padaku karena ibukulah yang merusak ketenteraman keluarga ayah yang mengalami kebangkrutan sampai saat ini. Walaupun ayah sering memukulku tapi aku tahu dia sangat menyayangiku. Ayahlah yang selalu mengantar dan menjemputku sekolah dengan motor bututnya. Ayah yang selalu mengingatkan hal-hal baik padaku. Walaupun kadang dengan sedikit marah.

Ayah… maafkan anakmu yang nakal ini. Maafkan juga ibu kandungku yang entah sampai saat ini aku sendiri tidak tahu dimana keberadaannya dan bagaimana wajahnya. Untuk ibu tiriku tercinta terima kasih telah menjadikan aku anakmu. Telah merawatku seperti anak kandungmu sendiri. Terima kasih juga atas kasih sayangmu sampai saat ini. Dan sampai saat ini ibu tetap tidak mau bercerita tentang siapa aku sebernarnya begitu juga kakak-kakakku.

Ayah... ibu... dan kakak-kakakku tercinta. Yakinlah! Aku ingin menjadi anak yang baik seperti yang kalian inginkan. Aku juga ingin menjadi anak yang pintar seperti yang kalian mau. Suatu saat nanti, aku pasti akan membuat kalian bangga padaku. Percayalah! Aku janji. Aamiin.

 

Profil Penulis

Siti Nuro’ifah, S.Pd.SD. lahir di Gresik, 20 Desember 1986. Kini ia menjadi guru di SDN Barengkrajan 2 Kec. Krian Sidoarjo Jawa Timur.

 

 

JELAJAH