Kembali ke Artikel
Buku Pembanding
17 Jul/2019

Buku Pembanding

Catatan Eko Prasetyo, Pemred MediaGuru

Saat duduk di bangku sekolah dulu, dalam pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) saya dan teman-teman disuguhi informasi bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu atas inisiatif Letkol Soeharto. Dalam sejarah lainnya, kami diberi informasi bahwa Perang Jawa (De Java-Oorlog) yang dikobarkan Pangeran Diponegoro itu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Yang paling saya ingat adalah Gerakan 30 September 1965 yang dikomandani oleh Letkol Untung Syamsuri itu didalangi PKI. Semua buku pelajaran sejarah tertulis seperti itu. Tidak ada buku-buku pembanding. 

Kini sudah banyak buku-buku pembanding yang menjelaskan informasi sejarah dari perspektif lain. Ini tentunya sangat penting. Buku Pleidoi Kolonel Latief, misalnya, malah mengungkapkan bahwa saat Serangan Umum 1 Maret terjadi, Letkol Soeharto sedang makan soto. Terkait Serangan Umum 1 Maret yang terkenal ini, sudah banyak buku biografi tokoh militer yang memaparkan fakta-fakta lain. Dalam biografi mantan KSAD Kolonel Bambang Sugeng dijelaskan bahwa Serangan Umum 1 Maret itu merupakan inisiatif Sultan Hamengku Buwono IX dan panglima yang mengendalikan pertempuran tersebut adalah Bambang Sugeng. 

Selama ini di sekolah-sekolah kita, tokoh yang dielu-elukan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 hanya Letkol Soeharto (yang kemudian menjadi presiden RI setelah Soekarno). Padahal, Bambang Sugeng merupakan atasan Soeharto saat pecah pertempuran 1 Maret 1949 tersebut. Letkol Soeharto sebagai komandan Wehrkreise III menerima perintah serangan itu dari Kolonel Bambang Sugeng yang saat itu menjabat Panglima Divisi III sekaligus Gubernur Militer III yang membawahkan wilayah Jogjakarta. 

Salah satu buku pembanding lain yang membuat saya mbrebes mili ialah biografi Mayjen Pranoto Reksosamudro. Pada 1965, ia menjabat deputi personel Menpangad. Ketika Letjen A. Yani gugur dalam peristiwa 1 Oktober 1965, Pranoto ditunjuk Presiden Soekarno sebagai caretaker Menpangad menggantikan Ahmad Yani. Namun, Pangkostrad Mayjen Soeharto tidak setuju. 

Yang tidak pernah diungkapkan ialah fakta terjadinya perselisihan antara Pranoto dan Soeharto ketika mereka masih sama-sama bertugas di Divisi Diponegoro/Jawa Tengah. Pranoto dituduh melaporkan kegiatan ”korupsi” Soeharto yang akhirnya membuat Soeharto dicopot sebagai panglima Divisi Diponegoro. Soeharto juga nyaris dipecat andai tidak ”diselamatkan” oleh Jenderal Gatot Soebroto yang menyarankan Soeharto disekolahkan ke Seskoad. Inilah yang dianggap sebagai penyebab mengapa Pranoto ditangkap dan dipenjarakan oleh Soeharto pasca-G30S 1965 tanpa tahu apa kesalahan Pranoto. Apakah ini ada di buku-buku sejarah sekolah-sekolah kita? Tidak! Silakan buktikan sendiri.

Terakhir, soal Pangeran Diponegoro, buku karya Peter Carey menjadi pembanding yang sangat bagus. Dijelaskan di sana tentang sisi lain Pangeran Diponegoro yang ambisius dan angkuh. Peter Carey tentu tidak serampangan menyebutkan fakta tersebut. Sebab, ia telah melakukan riset lapangan dan riset literatur sampai ke Belanda. Babad Kedung Kebo (1843) yang ditulis Cokronegoro, disebutkan bahwa Diponegoro itu hebat tapi punya kelemahan fatal: ambisi dan kesombongan. Peter Carey malah menggambarkan Diponegoro seperti tokoh pewayangan Prabu Suyudana yang hebat tapi angkuh. 

Agaknya, saya sepakat dengan anggapan bahwa Pangeran Diponegoro itu menjadi pahlawan karena takdir. Sebab, di bangku-bangku sekolah tak pernah dijelaskan secara detail tentang informasi-informasi sisi lain dari Perang Jawa dan Pangeran Diponegoro itu sendiri. 

Maka, melakukan gerakan membaca buku itu penting dilakukan secara terus-menerus kepada anak-anak didik kita. Sudah saatnya perpustakaan sekolah tidak hanya dibanjiri dan didominasi buku-buku mata pelajaran belaka. 

Banyak membaca buku pembanding itu penting agar kita tidak mudah termakan informasi bohong (hoax). Dalam konteks sejarah, kita sudah mafhum bahwa buku-buku sejarah kita pada masa dahulu merupakan alat propaganda. Inilah yang melahirkan pandangan bahwa sejarah yang benar itu hanya versi pemerintah (Orba saat itu). 

Jangan kungkung anak-anak kita dengan hanya membaca buku sejarah versi mata pelajaran sejarah. Biarkan mereka juga tahu bahwa Pangeran Diponegoro itu sebenarnya flamboyant dan punya istri lebih dari satu. Biarkan mereka juga tahu bahwa RA Kartini itu merupakan istri ketiga. Waba’du…

JELAJAH