Kembali ke Artikel
Gernas Baku, Bukan Seremonial Belaka Sumber Gambar: Dokumentasi Penulis
07 Aug/2019

Gernas Baku, Bukan Seremonial Belaka

 Gernas Baku, Bukan Seremonial Belaka

Wiwik Puspitasari, M.Pd.

 

Ada yang menarik dengan pelaksanaan hari puncak gerakan nasional membacakan buku atau yang lebih sering disingkat dengan gernas baku. Mendadak hampir seluruh lembaga pendidikan anak usia dini melakukan acara yang disusun sesuai petunjuk pelaksanaan dari pemerintah. Lalu, benarkah ini menjamin kelanjutannya?

Gerakan ini diharapkan dapat menjadi pemicu semangat orang tua dan guru untuk terus menjadikan kegiatan membaca buku menjadi rutin dan wajib dilakukan. Menyadari pentingnya membacakan cerita pada anak dan mendekatkan sosial emosi antara orang tua dan anak, guru, dan anak didik di sekolah. Lebih jauh lagi dapat dirasakan manfaatnya adalah menghindarkan anak dari kecanduan gadget, mengajak anak mencintai buku, dan menghidupkan literasi dalam keluarga.

Kesibukan ayah bunda dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga memang menjadi fenomena yang tak terelakkan di masa sekarang. Banyak keluarga muda yang bahkan tak punya cukup waktu untuk bercengkerama dengan anaknya yang masih berusia dini. Pagi  anak dititipkan, lalu sore baru bertemu dengan orang tuanya. Tak pelak lagi, anak pun diharapkan bisa banyak belajar di sekolah dan tidak rewel ketika ditinggal di rumah nenek atau dititipkan pada asisten rumah tangga. Hasilnya, saat anak tidak rewel dan asyik dengan game online di gawai maka ayah bunda merasa ini adalah solusi terbaiknya. Padahal kenyataannya, hal ini menjerumuskan anak semakin jauh dari orang tuanya. Tak ingin berinteraksi dengan lingkungannya. Lebih parah, anak dapat mengalami kesulitan berbicara.

Gernas baku memang gerakan yang luar biasa memberikan pesan kebaikan bagi pelaksana. Terutama bagi orang tua. Jika memang membacakan buku dilakukan di saat anak berada di rumah, biasanya anak akan menjadi pendengar yang baik di sekolah. Atau anak juga akan meminta gurunya bercerita setiap hari. Anak akan menunjukkan ketertarikannya pada buku dan berbagai gambar dan bentuk yang ada di sekolah sebagai alat peraga pembelajaran. Sangat mendukung kemampuan anak untuk dapat mengenal simbol bacaan dan akhirnya bisa membaca sederhana sampai membaca lancar. Luar biasa imbasnya. Belum lagi jika gernas baku dimasukkan dalam program sekolah. Dunia anak usia dini yang penuh imajinasi terasa semakin terberi dengan semangat guru membacakan buku cerita pada anak didiknya. Sekolah ramah anak dan ramah otak adalah sekolah yang berusaha menjadi surga bagi anak didiknya. Itulah mengapa sekolah yang menjadikan program membacakan buku cerita ke anak didik akan menjadi sekolah yang dirindukan.

Berbicara  tentang gernas baku yang dilakukan serentak di seluruh lembaga PAUD di Indonesia, seperti sebuah doa dan kekhawatiran. Sebuah doa, semoga program ini memang benar-benar dilakukan di dalam pembelajaran yang ada di lembaga tersebut. Gurunya memang menerapkan metode membacakan buku cerita dan lembaganya juga memiliki buku cerita yang memadai. Lalu bagaimana dengan keterlibatan orang tua yang tampak dalam tayangan video puncak acara gernas baku? Ya. Tentu saja ini adalah doa anak didik agar bunda atau ayahnya tak hanya membacakan buku saat puncak acara gernas baku, tetapi tetap menyisihkan waktu membacakan buku cerita di sela waktu kesibukannya.

Namun, kekhawatiran yang terlintas adalah jika acara puncak yang digeber meriah dengan saling menampilkan acara gerakan nasional membacakan buku cerita di berbagai lembaga ini hanya berakhir di hari saat foto atau video berlangsung.  Usai acara, semua sepi dan senyap tanpa bekas. Lembaga kembali dengan kegiatannya yang jauh dari ramah anak dan ramah otak. Tak ada lagi buku cerita di sudut ruang kelas, malah tersimpan rapi di lemari guru. Kemudian orang tua juga lupa akan fitrahnya sebagai madrasah utama, mendidik dengan cinta lewat membacakan cerita. Aduhai malang dan sedihnya, buah hati dan anak didik tersayang. Akankah acara hanya tinggal seremonial belaka?

Siapakah korban sesungguhnya? Tentu buah hati kita. Tentu anak didik tercinta. Seperti mengingkari sebuah janji untuk selalu membacakan buku pada anak, namun tetap ingin terlihat meendukung gernas baku lewat video dan foto yang disebarluarkan di jagat media sosial dan lainnya.

Harapan yang terbersit adalah ada tidaknya puncak acara gerakan nasional membacakan buku pada anak, tetaplah semua lembaga PAUD menggerakkan hati semua pendidik dan orang tua untuk melakukannya. Meski tanpa tuaian pujian dan tepuk tangan meriah dari pejabat terkait yang melihat puncak acara di lembaga, teruslah memberikan layanan tanpa pamrih semata. Karena sesungguhnya semua yang dilakukan hanya seremonial belaka akan menyebabkan lembaga atau orang tua lupa akan tugasnya. Akhirnya selamat  dan salut pada lembaga yang ‘bergerak dalam senyap’. Walau tanpa hingar bingar acara puncak gerakan nasional membacakan buku cerita pada anak, teruslah berjihad wahai guru-guru penyampai kisah dan pembaca rutin buku cerita pada anak didiknya. Bersyukurlah duhai ayah bunda  bagi yang masih menyempatkan waktu bercerita atau membacakan buku cerita pada buah hati di masa golden age ini. Sebab ini adalah masa di mana perkembangan otak mencapai 80%.  Jika masa usia keemasan ini terlewatkan maka anak dipastikan tidak mencapai perkembangan optimal. Jadi jangan salahkan anak jika ia menjadi kurang konsentrasi dan tidak pernah menjadi pendengar yang baik. Semua tak luput dari kurangnya stimulasi yang diberikan orang tua pada anak didiknya, salah satunya dengan membacakan buku cerita. Itu masih sebagian kecil dari manfaat membacakan cerita pada anak. Andai saja semua anak mendapat kesempatan banyak mendengarkan cerita dengan pesan moral yang sangat bermanfaat baginya, kita bisa bayangkan betapa banyak anak Indonesia yang terdidik menjadi literat cilik. Subhanallah!

Gernas baku, kami dukung sepenuh hati, sepenuh jiwa seteguh janji pendidik anak usia dini.”

Salam literasi !

 

*Wiwik Puspitasari, M.Pd. adalah Kepala PAUD/RA Jasmine Islamic Medan

JELAJAH