Oleh:Ali Harsojo
Sejak 2015, Gerakan Literasi Sekolah telah digaungkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu poin utama dalam peraturan tersebut adalah kewajiban membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai di sekolah.
Namun, penerapan kewajiban membaca ini menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Persoalannya bukan sekadar menjalankan aturan, tetapi juga menyangkut motivasi: apakah kegiatan membaca ini dijalankan sebagai kewajiban atau justru sebagai tuntutan. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda dalam praktiknya.
Pertama, jika kegiatan literasi ini dipandang sebagai kewajiban, tidak semua guru dapat menunaikannya secara optimal. Waktu pelajaran yang telah ditetapkan dalam jadwal sering kali membuat efektivitas pelaksanaan membaca menjadi terbatas.
Kedua, jika dianggap sebagai tuntutan, seiring waktu kegiatan ini bisa terasa membebani, apalagi jika dibarengi dengan target capaian dan konsekuensi tertentu bagi yang belum mencapai target tersebut.
Terlepas dari apakah dianggap sebagai kewajiban atau tuntutan, pada akhirnya keberhasilan program ini sangat bergantung pada guru sebagai pelaku utama. Dibutuhkan kompetensi, kemauan, dan konsistensi untuk menjalankannya secara berkelanjutan. Guru perlu terus mengasah kemampuan, memperkuat komitmen, serta menjaga konsistensi dalam menggerakkan budaya literasi di sekolah.
Sebagai solusi alternatif, penulis menawarkan dua pendekatan dalam menerapkan kegiatan literasi membaca sebelum pelajaran dimulai:
1. Menyelaraskan bahan bacaan dengan kegiatan pembelajaran hari itu. Misalnya, siswa membaca cerita fabel selama 15 menit sebelum pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, kemudian kegiatan belajar dilanjutkan dengan mengidentifikasi unsur intrinsik cerpen. Cara ini menjadikan kegiatan membaca relevan dan kontekstual.
2. Mengintegrasikan kegiatan literasi membaca ke dalam proses pembelajaran. Dalam pendekatan ini, membaca bukan lagi kegiatan terpisah, tetapi menjadi bagian dari pemahaman materi pelajaran. Guru dapat memandu siswa membaca intensif sebagai bagian dari proses belajar.
Kedua pendekatan tersebut sama-sama memberikan manfaat. Kegiatan literasi tetap berjalan, sementara pemahaman siswa terhadap materi pelajaran juga meningkat. Guru pun dapat lebih mudah menjalankan kewajiban sekaligus memenuhi tuntutan pelaksanaan program literasi secara terstruktur dan masif.
