Kembali ke Artikel
Lelaki Separuh Baya di Simpang Empat
19 Jul/2019

Lelaki Separuh Baya di Simpang Empat

Oleh Dedi Wahyudi, S.Pd.

 

Dengan derap langkah sepasang kaki tuanya yang tenat dan lambat, ia menyusuri sudut-sudut kota yang semakin asing baginya. Gedung-gedung pencakar langit berbaris rapi di pinggir jalan protokol kota metropolitan menambah keangkuhan dan kesombongan penduduknya yang dilengkapi rumah-rumah susun mewah (apartemen) serta mobil-mobil mentereng. Bertolak belakang dengan rumah-rumah liar yang bertebaran di bawah kolong jembatan, jalan-jalan tol, dan di beberapa tempat lainnya.

Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam. Melintasi jalan-jalan utama di kota metropolitan yang semakin disibukkan dengan berbagai kegiatan luar biasa seperti tidak pernah mau berhenti. Sampailah aku di perempatan jalan yang dikenal dengan nama Simpang Empat. Aku tidak tahu kenapa diberi nama seperti itu. Mungkin karena ada empat ruas jalan yang bertemu pada satu titik.

Dari kejauhan tampaklah sesosok lelaki separuh baya yang tak lagi kuat membawa bawaannya. Umurnya kira-kira enam puluh tahun ke atas yang angka pastinya aku tidak mengetahuinya. Aku berhenti sejenak untuk minum di kedai kecil sekitaran Simpang Empat. Kuhampiri lelaki separuh baya itu dan mencoba menyapanya dengan ramah.

Assalamualaikum, Bapak?” sapaku.

Walaikumsalam, Nak!” jawab lelaki separuh baya itu dengan lembut.

Bapak sedang apa di tempat ini?” tanyaku.

Bapak sedang menjual sepatu bekas, mungkin ada yang berminat!”

Baik, Bapak. Saya lihat-lihat dulu ya.”

Setelah menunggu lama, aku memilih sepatu bekas hitam yang pas di kakiku. Aku ingin membantu bapak tua itu. Mungkin dengan ini bapak dapat melanjutkan kehidupannya.

Pak, saya beli sepatu hitam. Ini uangnya, ambil saja!” ujarku.

Alhamdulilah terima kasih banyak ya, Nak. Semoga kamu menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama, serta berbakti kepada orang tuamu agar hidup selamat dunia akhirat,” jawab bapak tua itu.

Terima kasih, Bapak, atas doanya. Semoga Bapak juga begitu,” timpalku.

Dengan langkah perlahan tapi pasti, kami berpisah di simpang empat itu. Lelaki paruh baya itu melanjutkan langkahnya menuju tempat lainnya. Sesekali ia mengusap keringat dengan bajunya yang kumal. Tampak dari wajahnya yang penuh dengan urat-urat dan berjerawat. Hidup seorang diri ditinggalkan oleh kerabatnya. Mencari sesuap nasi untuk kehidupannya yang sedang berkarat. Tetapi, ia tetap seperti manusia yang lain yang taat. Melakukan perintah Tuhan agar selamat.

Lelaki separuh baya itu tinggal cukup jauh dari tempat mangkalnya. Ia menempati rumah yang tak layak huni. Jauh dari sentuhan pemerintah. Tidak ada perhatian sama sekali. Sungguh miris dan berbeda dengan janji-janji manis pemerintah terpilih yang sedang menjabat saat ini. “Hanya janji manis di bibir saja!” pikirku.

Bisa dikatakan gubuk bukan rumah. Hanya berdinding papan-papan yang sudah lapuk beralaskan tanah. Beratapkan rumbia yang banyak lubangnya. Gubuk yang hanya berukuran kecil 2x2 meter. Itu pun sudah bertahun-tahun. Gubuk tua yang merupakan warisan dari orang tuanya. Tidak ada yang ingin menemaninya. Semua menjauhinya.

Kini lelaki separuh baya itu tinggal sebatang kara. Ia tidak memiliki sanak saudara. Di tengah kota metropolitan. Ia bagaikan orang asing yang sedang mengembara di hingar-bingarnya kota. Berbekal keterampilan membuat sepatu yang ia miliki dari kampung halamannya dahulu kala. Ia belajar dengan temannya yang sekampung. Nama temannya itu adalah Wawan. Teman sewaktu duduk di bangku sekolah dasar di kampung Sukamaju. Di desa Sukamaju ia belajar membuat sepatu dari bahan dasar yang terdapat di kampung. Mereka selalu belajar bersama.

Kini yang ia miliki hanyalah niat dan kesungguhan untuk mengais rupiah demi kelangsungan hidupanya di kota yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit nan angkuh dan congkak, serta warga masyarakatnya yang heterogen. Sungguh berbeda dengan di kampungnya. Seperti bumi dan langit.

 

 

Profil Penulis

Dedi Wahyudi, S.Pd. lahir di Teluk Air Karimun, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, 12 Januari 1975. Ia pendidik di SMP Negeri 3 Karimun. Dua buku puisinya yang berjudul Filosofi Sandal Jepit dan Secawan Kopi dan Sebungkus Roti terbit pada 2017.

 

 

JELAJAH