Kembali ke Artikel
Literasi yang Menumbuhkan
17 Jul/2019

Literasi yang Menumbuhkan

Beberapa waktu sempat viral bahwa literasi masih menjadi kata yang belum dipahami secara utuh. Sebagian besar masyarakat masih mengidentikkan kegiatan literasi dengan membaca (buku). Padahal domain literasi sangat luas.

Dalam proses belajar, membaca adalah gerbang utama masuknya pengetahuan. Terlebih di era digital, membaca merupakan aktivitas utama dalam mendapatkan informasi. Masalahnya adalah dalam belajar, kemampuan membaca bukan sekadar bisa membunyikan rangkaian huruf. Tidak cukup hanya mengajarkan bisa baca.

Proses belajar hendaknya membuat anak biasa untuk memahami, mampu mengaplikasikan, berpikir kritis analitis, dan mempunyai daya kreativitas. Walaupun bukan satu-satunya jalan, membaca bisa mengembangkan keterampilan-keterampilan tadi. Tentu saja melalui aktivitas yang dibangun secara terencana dan sistematis. Artinya, ada target-target yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya.

Saat ini kebanyakan sekolah masih membiasakan anak membaca supaya hafal. Hafal materi pelajaran dan ketika ulangan bisa menjawab sesuai dengan buku teks yang bacanya. Sayangnya, kebanyakan guru puas dan berhenti pada proses ini saja. Sebenarnya hal seperti ini masih jauh dari tujuan belajar membaca itu sendiri.

Belajar membaca tidak berhenti ketika anak sudah lancar membaca. Lancar membaca baru awal, bukan tujuan akhir. Anak perlu terus distimulasi supaya bisa memahami isi bacaan dan berpikir kritis-kreatif. Justru pada tahap inilah keseruan membaca terbangun. Anak bisa mengeksplorasi banyak hal dari yang dibaca. Imajinasinya berkembang. Daya kritisnya terasah. Membaca adalah dunia yang tanpa batas.

Pada tataran membaca pun, praktik literasi belum kaya. Kegiatan literasi (di sekolah-sekolah) masih berkutat dalam lingkaran membaca senyap (silent reading) dan mengemukakan isi bacaan secara tertulis dengan berbagai teknik. Belum banyak yang mencoba melangkah lebih jauh ke arah sisi-sisi literasi yang lebih dalam.

Ini memang salah satu karakter masyarakat kita, mudah terbawa euforia dan kurang dalam mengembangkan hal-hal baru. Praktik literasi melalui kegiatan membaca menyediakan banyak hal sebagai andil dalam pembentukan karakter, terutama bagi pembaca pemula.

Mengapa pembaca pemula? Membangun kebiasaan dan karakter pada pembaca pemula sangat penting. Bukan sekadar menumbuhkan budaya membaca dan mencintai buku, tetapi bagaimana mengembangkan keterampilan lain lewat budaya membaca. Ketika sejak awal sudah belajar banyak hal secara komprehensif, diharapkan akan muncul generasi yang literat. Generasi yang mampu berpikir dan bertindak secara holistik, tidak hanya berdasarkan satu sisi.

Bagaimana menumbuhkan kemampuan literasi bagi pembaca pemula? Pertama, read aloud. Banyak manfaat membaca bersuara (read aloud). Manfaat tersebut di antaranya adalah anak belajar menyimak dan mengembangkan keterampilan verbal. Read aloud juga membantu anak untuk belajar fokus, mengasah emosi, dan mempertajam intuisi.

Kedua, temukan buku yang cocok. Ini harus benar-benar diperhatikan. Tidak semua buku anak yang beredar itu bagus buat anak. Harus benar-benar diperhatikan konten, konteks, ilustrasi, dan pemilihan kata. Bukan hanya itu, pilihlah buku yang mengajak anak berpikir serta mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya.

Ketiga, menyenangkan, jangan menyeramkan. Jadikan membaca sebagai kegiatan yang fun. Jangan jadikan sebagai kewajiban yang disertai sanksi yang bisa membuat anak tidak enjoy. Seharusnya membaca bisa dijadikan sebagai sebuah kebutuhan. Hindari memberikan hukuman karena anak tidak mau membaca. Carilah kegiatan menarik yang membuat ia tergugah untuk membaca.

Keempat, memantik kemelitan. Melit itu rasa ingin tahu (curiosity). Rasa ingin tahu bisa ditumbuhkan dengan membaca. Latih anak bertanya tentang segala hal yang ada di buku, baik teks maupun gambar ilustrasinya. Pacu supaya anak mampu menemukan banyak pertanyaan, kemudian ajak anak untuk menemukan jawabannya. Jangan langsung memberi jawaban. Berilah clue secara bertahap bila memang anak kesulitan menemukan jawabannya.

Kelima, jadilah pembaca. Bacalah terlebih dahulu buku yang akan diberikan kepada anak. Pahami isinya, termasuk ilustrasinya. Carilah fakta-fakta seru yang bisa memicu pertanyaan anak. Ketahui minat bacaan setiap anak dan sediakan buku yang cocok untuknya. Pastikan ketika anak bertanya tentang buku tersebut kita mampu menjelaskan hal-hal seru yang ada di dalamnya sehingga membuat anak tertarik membaca.

Keenam, bagikan. Ceritakan buku apa yang sedang dibaca, kenapa membacanya, dan keseruan apa yang didapat dengan membaca buku itu. Ini menjadi teladan buat anak. Pertama, teladan membaca. Kedua, teladan berbagi pengetahuan.

Ketujuh, manfaatkan teknologi. Sekali-sekali bawalah tablet. Bacakan sebuah e-book kepada anak-anak. Tunjukkan bahwa teknologi itu mendukung aktivitas membaca.

Kedelapan, hadirkan. Selesai membaca, buatlah kegiatan-kegiatan yang menarik. Ajak anak untuk mengeksplor bacaan. Bukan sekadar menulis kembali isi bacaan, latih imajinasi dan daya kreasi mereka dengan kegiatan yang kreatif. Misalnya, membuat kostum tokoh, mendramakan dan memfilmkan cerita, wawancara imajiner, dan banyak kegiatan imajinatif-kreatif lainnya.

Kesembilan, perluas, bukan peringkat. Alih-alih membuat peringkat kemampuan membaca, kegiatan yang jauh lebih bermanfaat adalah memperluas minat anak. Orang tua harus pandai-pandai membuat pemantik agar anak mempunyai minat untuk membaca banyak topik.

Kesepuluh, perluas koneksi dan kolaborasi. Buat jaringan dengan perpustakaan dan organisasi-organisasi yang konsern dengan kegiatan literasi. Berbagi dan berdiskusilah dengan mereka.

So, kegiatan literasi tidak boleh berhenti pada titik membaca dan melaporkan isi bacaan. Membangun generasi literat harus dimulai sejak dini dengan kegiatan yang lebih terstruktur. Jadikan membaca sebagai kegiatan literasi yang menumbuhkan, bukan sekadar prestise yang diukur dengan kuantitas semata tapi miskin kualitas.

Itu baru dalam tataran membaca. Keterampilan literasi yang lain juga harus dikembangkan. Literasi bukan sekadar membaca tulisan, tetapi juga membaca tanda-tanda. Tanda yang dimaksud bisa berupa papan petunjuk atau peringatan, bahasa tubuh, mimik muka, gejala-gejala sosial, sampai tanda-tanda (gejala-gejala) alam.

Pendeknya, usaha membuat masyarakat yang literat adalah usaha membangun kepekaan terhadap yang ada di sekelilingnya sehingga mempunyai cukup alasan untuk memutuskan dan memilih sebuah aksi yang realistis, bukan karena ikut-ikutan.

Generasi literat seperti inilah yang harusnya menjadi konsern dunia pendidikan untuk diwujudkan. Praktik pendidikan harus bergerak semakin cerdas, sebab kalau tidak, kita hanya akan menjadi bangsa yang tergusur dalam lipatan sejarah.

 

Oleh Suhud Rois SD Peradaban Insan Mulia Cimahi

JELAJAH