Kembali ke Artikel
Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri
29 Jul/2019

Mendidik Anak Bangsa di Luar Negeri

 

Abdulloh Syifa’, M. Ed.

 

Terhitung sejak tahun lalu, saya mendapatkan amanah untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR), sekolah kedutaan di Kerajaan Saudi Arabia. Ini sebuah tantangan baru bagi saya, setelah kurang lebih tujuh tahun menjadi kepala sekolah SMP di Jombang, Jawa Timur. Menjadi kepala sekolah Indonesia di luar negeri mempunyai fungsi ganda, di samping menjamin anak-anak Indonesia yang tinggal di luar negeri memperoleh pendidikan yang berkualitas sama dengan teman-temannya di tanah air, pada saat yang sama juga mempunyai tugas membantu perwakilan untuk mengenalkan budaya Indonesia pada masyarakat Saudi Arabia dan masyarakat asing lainnya.

Berikut saya ingin berbagi pengalaman bagaimana menjamin pendidikan berkualitas bagi anak-anak bangsa di Riyadh. Banyak tantangan yang harus dihadapi demi memberikan pendidikan yang baik: kondisi guru dan tenaga kependidikan, keterbatasan sarana dan prasarana, dan  keterbatasan waktu belajar.

Guru-guru yang mengajar di sekolah sebagian merupakan guru rekrutan lokal atau direkrut oleh perwakilan dan sebagian lagi guru-guru yang dikirim oleh Kemendikbud, yaitu guru-guru hasil seleksi yang diadakan di Jakarta. Kondisi ini kadang menimbulkan kesenjangan dari sisi kulaitas dalam memberikan pembelajaran. Kondisi ini bisa memengaruhi konsistensi model pembelajaran yang diterapkan di kelas, yang kadang membuat bingung siswa dan akhirnya menuai protes dari orang tua.

Latar belakang guru yang beragam tentu menjadi masalah tersendiri karena kesuksesan pembelajaran akan lebih terjamin apabila guru-guru di sekolah tersebut mempunyai pemahaman yang sama tentang konsep pembelajaran, ada school-wide pedagogy. Oleh sebab itu, selaku kepala sekolah saya harus mendorong terjadinya pengimbasan kompetensi pedagogik di antara guru. Tahun ini, kami merancang kegiatan kaji pembelajaran (lesson study) untuk guru-guru kelas awal dan guru-guru kelas tinggi untuk jenjang sekolah dasar. Dengan harapan akhirnya guru-guru akan bisa memberikan kualitas pembelajaran yang kepada anak-anak. Di samping itu, untuk meningkatkan kompetensi guru, bekerja sama dengan atase pendidikan KBRI Riyadh, kami juga melaksanakan pelatihan-pelatihan guru dengan mendatangkan narasumber dari Indonesia.

Tantangan kedua untuk memberikan pendidikan berkualitas adalah terbatasnya sarana dan prasarana sekolah. Jangan dibayangkan gedung sekolah Indonesia di Riyadh sama dengan gedung-gedung sekolah di Indonesia pada umumnya: mempunyai ruang kelas standar, ada ruang guru yang memadai, perpustakaan, ruang laboratorium, serta ruang kepala sekolah yang memadai. Gedung yang kami tempati sekolah sebenarnya adalah rumah yang disulap jadi gedung sekolah. Jadi, ruang belajar anak-anak adalah kamar-kamar yang tidak terlalu luas, yang cukup berdesakan untuk ditempati sekitar 15 siswa. Demikian juga dengan ruang-ruang lainnya, masih jauh dari Standar Pelayanan Minimal (SPM). Namun demikian, kami tidak boleh menyerah, kami tetap harus menjamin anak-anak bisa belajar dengan nyaman. Kami mendorong anak-anak untuk membuat kelas mereka nyaman untuk belajar. Mereka berlomba mendekorasi kelasnya masing-masing sehingga mereka merasa nyaman belajar di dalamnya.

Tantangan berikutnya yang kami hadapi di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) adalah keterbatasan waktu belajar. Sesuai aturan pemerintah Saudi, sekolah di Riyadh menerapkan lima hari sekolah, Jumat dan Sabtu adalah hari libur. Di samping itu, pembelajaran setiap harinya tidak boleh melebihi pukul 2 siang. To make it worse, sekolah juga harus mengalokasikan jam pelajaran untuk muatan lokal bahasa Arab dan Geografi Arab. Jadi, jumlah jam pelajaran yang makin banyak harus diakomodasi dalam lima hari belajar dan tidak boleh lebih dari pukul 2 siang. Tentu ini sangat memusingkan, belum lagi dengan alokasi waktu untuk kegiatan pembiasaan sebagaimana sekolah-sekolah di Indonesia.


Keterbatasan waktu belajar ini semakin diperparah dengan posisi sekolah yang juga harus berperan sebagai agen budaya di negara akreditasi. Anak-anak harus sering tampil mengisi acara-acara pengenalan budaya Indonesia kepada masyarakat Saudi dan juga masyarakat asing. Kegiatan-kegiatan ini, tentu saja akan menggerus kesempatan anak-anak untuk tatap muka dengan gurunya. Untuk mengompensasi hal ini, kami menggunakan fasilitas google classroom untuk untuk pembelajaran. Setiap guru mata pelajaran saya dorong untuk membuat WhatsApp Group sehingga anak-anak masih tetap bisa bertanya dan berdiskusi tentang materi pelajaran yang telah dipelajari dengan guru dan teman-teman lainnya walaupun mereka sudah tidak berada pada tempat yang sama. Ada pengalaman, beberapa bulan yang lalu, ketika saat Penilaian Akhir Tahun (PAT), sebagian siswa pada saat sama harus mengisi kegiatan budaya di luar kota, yang jaraknya sekitar empat jam perjalanan dengan mobil selama empat hari. Tapi, karena ulangan yang kita lakukan sudah menggunakan sistem online maka anak-anak masih tetap bisa mengikuti ulangan pada saat bersamaan dengan teman-teman mereka di sekolah, karena mereka hanya tampil dalam kegiatan itu waktu malam.

Demikian tantangan memberikan pendidikan berkualitas bagi anak bangsa di luar negeri. Pada kesempatan lain, insyaallah saya akan berbagi pengalaman tentang serunya memimpin sekolah yang mempunyai tugas mengenalkan dan melestarikan budaya Indonesia di luar negeri.

 

Riyadh, 20 Juli 2019


*Abdulloh Syifa’, M.Ed. adalah Kepala Sekolah Indonesia Riyadh (SIR)

JELAJAH