Kembali ke Artikel
Minggat
19 Jul/2019

Minggat

Oleh Burhan, S.Pd.

Narsih, putri ketiga dari lima bersaudara. Kakak Narsih yang tua telah menikah dan memiliki dua anak. Kakak Narsih yang nomor dua masih lajang dan telah tamat SMA beberapa tahun yang lalu. Dua adiknya, yang satu laki-laki dan yang satu lagi bungsu perempuan masih duduk di bangku sekolah dasar.

Narsih duduk di bangku kelas 3 SMP, usianya baru lima belas tahun. Narsih anak yang baik hati, pendiam, tidak banyak bicara. Bagi yang baru mengenal sosok ABG seperti Narsih, pasti menyangka Narsih anak yang sombong. Akan tetapi, buat teman-teman yang telah lama mengenalnya, terutama teman sekolahnya, sudah mengerti betul kebaikan Narsih. Tidak heran kalau Narsih memiliki banyak teman. Narsih bersahabat dengan siapa saja tanpa membedakan status sosial, ras, dan agama. Bahkan teman yang baru saja dikenalnya akan diperlakukan sebagaimana teman-teman lain yang telah lama bersahabat dengannya.

Sabtu, kira-kira pukul dua sore, Narsih disuruh ibunya pergi ke warung yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya untuk membeli beberapa kebutuhan dapur. Karena merasa belum terlalu sore, Narsih belum singgah ke warung untuk berbelanja. Ia pergi ke rumah kakaknya yang berada di desa tetangga terlebih dahulu. Dengan mengendarai sepeda motor berwarna putih, Narsih pergi ke rumah kakaknya. Di sepanjang perjalanan Narsih berpikir, daripada berbelanja di warung tetangga lebih baik ke rumah kakak karena kakaknya juga punya warung. Jadi, sekalian jalan-jalan ke rumah kakak. Selain belanjaannya gratis nanti pulang juga dikasih oleh-oleh dan uang pemberian ibuk bisa buat jajan. Narsih membawa uang dua puluh ribu rupiah.

Narsih sangat dekat dan manja dengan kakaknya. Karena itu, apa pun yang diminta Narsih selalu dituruti. Kalau tidak sekarang diperoleh, terkadang beberapa hari kemudian pasti diterima.

Di perjalanan pulang Narsih menerima panggilan lewat telepon selulernya. Di layar teleponnya tertera nama Andi, pria yang baru saja dikenalnya dari teman sekolahnya Sinta. Andi adalah remaja yang hanya beda usia dua tahun dengan Narsih. Narsih menganggap Andi adalah pria yang tampan, ramah, dan baik hati.

Hubungan Narsih dengan Andi sangat akrab seperti telah lama kenal. Tidak ada sedikit pun dalam hati Narsih curiga akan kebaikan Andi terhadap dirinya. Sejak mereka berkenalan Andi sering menghubungi Narsih. Pagi, siang, malam pokoknya tiap ada kesempatan pasti dimanfaatkan oleh Andi untuk menelepon Narsih. Demikian pula Narsih, di sela-sela kesibukan membantu ibunya di rumah ia pasti menyempatkan diri ngobrol dengan Andi lewat telepon sehingga mereka semakin akrab.

Saking asyiknya ngobrol, tanpa sadar rumahnya terlewatkan. Setelah tiba di perempatan jalan Narsih baru menyadari bahwa dirinya telah jauh melewati rumahnya. Narsih menghentikan sepeda motornya, ingin berputar arah. Entah kenapa seketika itu pula seperti orang yang telah terhipnotis, Narsih mengikuti perintah Andi agar Narsih datang menemuinya sore itu. Tanpa ada rasa bersalah Narsih mengalihkan niatnya yang semula ingin pulang ke rumah menjadi meneruskan perjalanan untuk menemui Andi.

Ia turun dari sepeda motor membawa sekantong plastik berwarna hitam berisi barang keperluan dapur dan beberapa oleh-oleh yang diberikan oleh kakaknya. Lalu dititipkan kepada Sumi, tetangganya yang kebetulan lewat. Narsih meminta Sumi untuk memberikan kantong plastik tersebut kepada ibunya di rumah. Setelah itu, Narsih buru-buru pergi tanpa memberi tahu Sumi ke mana tujuannya.

Dengan uang belanja dua puluh ribu rupiah di kantongnya, Narsih pergi menemui teman barunya yang berada di ibu kota kabupaten. Padahal, Narsih belum pernah berpergian jauh sendirian. Biasanya ia pergi bersama ayah atau kakaknya. Tapi, kali ini Narsih benar-benar nekat mengendarai sepeda motor melintasi jalan semak rerumputan di kanan kiri jalan dan menyeberangi selat tanpa ada orang yang mendampingi layaknya remaja kebanyakan yang selalu bersama teman atau saudaranya.

Hari sudah semakin sore. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul lima sore. Narsih menghubungi keluarganya di rumah melalui SMS. Ia mengatakan, ia akan segera pulang ke rumah. Seiisi rumah menunggu kepulangan Narsih diselimuti rasa cemas.

Hari sudah mulai gelap. Suara azan berkumandang di udara dari berbagai penjuru masjid dan mushala pertanda waktu shalat Maghrib telah tiba. Warga berbondong-bondong menuju masjid atau mushala terdekat untuk melaksanakan shalat.

Keesokan harinya, Bakri, ayah Narsih dengan mengendarai sepeda motor ditemani oleh Adi, menantunya, pergi ke ibu kota kecamatan untuk melaporkan hilangnya putri ketiganya itu kepada pihak yang berwajib. Setelah mendengarkan penjelasan dari Bakri dan menantunya itu, Kapolsek memerintahkan bawahannya untuk segera bertindak. Dengan dibantu oleh beberapa anggota keluarga terdekat Narsih, anggota kepolisian berangkat mencari Narsih ke beberapa tempat yang pernah dikunjungi oleh Narsih bersama temannya beberapa waktu lalu. Namun usaha mereka sia-sia. Narsih belum ditemukan.

Telah masuk hari ketiga terhitung sejak Sabtu sore Narsih minggat dari rumah dengan hanya mengenakan sepasang pakaian di tubuhnya dan uang dua puluh ribu rupiah. Dapat dibayangkan, uang dua puluh ribu rupiah hanya cukup untuk ongkos PP penyeberangan, sedangkan untuk kebutuhannya selama tiga hari dari manakah ia akan mendapatkannya. Sudah dapat dipastikan betapa besar kebimbangan di hati ibu yang telah bersusah payah merawat dan membesarkan anaknya sejak kecil. Di mana Narsih, bagaimana keadaannya sekarang, apakah dia baik-baik saja, sudah makan apa belum, mengapa sampai sekarang belum ada kepastian. Berbagai pertanyaan mengerumuni pikiran ibunya.

Berita tentang Narsih minggat dari rumah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, di rumah-rumah warga, di warung-warung, di sekolah-sekolah dan di pasar. Bahkan kini viral di media sosial. Setiap orang yang membaca pesan dan menyaksikan foto Narsih terpampang di media sosial pasti meneruskan pesan itu untuk membantu menyampaikan informasi secara beruntun kepada teman-teman dan sanak saudara, baik melalui Facebook, twitter, WhatsApp maupun Instagram. Nomor handphone keluarga juga disertakan.

Polisi mendatangi sekolah Narsih. Arman, seorang intelijen kepolisian meminta keterangan dari salah seorang teman dekat Narsih bernama Sinta. Sinta mencoba menghubungi Narsih, tapi nomor ponselnya tidak aktif. Sinta tidak kehabisan akal, ia menghubungi Andi. Sinta memberikan nomor ponsel Andi kepada Arman. Polisi meminta Sinta untuk terus menghubungi Andi. Sementara itu, Arman bersama anggotanya mendeteksi keberadaan Andi melalui ponsel miliknya. Dengan bantuan Sinta, Arman dan anggotanya mencari keberadaan Narsih dan Andi.

Terdengar kabar dari mulut ke mulut bahwa ada seseorang yang pernah ketemu Narsih saat ia berada dalam Kempang mengenakan baju pink, rok hitam, dan jilbab pink menyeberangi selat arah ke ibu kota kabupaten Sabtu sore. Kabar itu memperkuat keyakinan bahwa Narsih pergi menemui Andi. Dengan tidak menunda-nunda waktu lagi, pihak keluarga langsung berangkat mencari Narsih. Benar, seperti yang diduga sebelumnya, Sinta menemukan Andi sedang berbelanja di sebuah mini market. Tapi di sana tidak ada Narsih.

Keluarga dan anggota kepolisian telah siap siaga mengawasi Sinta dan Andi dari jarak jauh. Setelah membayar belanjaan di kasir, Andi dan Sinta pergi dengan sepeda motor yang sangat dikenali oleh Bakri karena sepeda motor itu adalah milik keluarga Bakri satu-satunya yang dibawa Narsih tiga hari yang lalu.

Andi dan Sinta mengendarai sepeda motor dengan cepat melintasi jalan menuju sudut kota dan berhenti di sebuah rumah yang terletak ujung desa. Pihak keluarga dan anggota kepolisian mengikuti mereka dari dari belakang. Andi membuka pintu rumah lalu masuk ke rumah dan Sinta pun ikut masuk. Namun, saat Andi keluar mengambil sepeda motor untuk dimasukkan ke dalam rumah, polisi menangkapnya.

Sementara itu di dalam rumah, Narsih dan Sinta sudah tidak sadarkan diri. Ternyata telah tiga hari lamanya Narsih disekap di rumah kosong milik warga yang sudah lama tidak ditempati. Sinta dan Narsih dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan, sedangkan Andi dan beberapa barang bukti dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Atas keputusan pengadilan Andi mendapatkan hukuman yang setimpal untuk mempertanggungjawabkan kejahatan yang telah dilakukannya terhadap Narsih dan Sinta.

Narsih kembali bersekolah. Setiap hari ia pergi dan pulang sekolah diantar dan dijemput oleh ayahnya. Sepertinya ayahnya masih trauma dan masih belum percaya untuk melepaskan Narsih pulang-pergi sendirian. Kini giliran Narsih yang tersiksa hidupnya karena setiap mau berpergian ada saja yang mengawal, takut hal yang serupa kembali terulang. Demikian besarnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Maka jangan sia-siakan pengorbanan orang tua yang telah mendidik dan mengasuh kita hingga menjadi manusia yang berguna.

 

Burhan, S.Pd. adalah guru di SDN 5 Baran Melintang Kec.Pulau Merbau Kab.Kepulauan Meranti.

JELAJAH