Kembali ke Artikel
UN Oke Belajar dan Kerja Keras Pasti
17 Jul/2019

UN Oke Belajar dan Kerja Keras Pasti

Sebentar lagi dunia pendidikan kita mulai dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA akan punya gawe berupa ujian sekolah (Usek) dan ujian nasional (UN). Khusus untuk UN yang hingga saat ini (maaf) masih dijadikan “dewa” penyelamat muka bagi sekolah, orang tua, masyarakat, dan bahkan pemerintah daerah.

Mengejar surprise berupa capaian nilai yang baik dari hasil UN masih menjadi idola. Mereka yang punya kepentingan selalu menggunakan segala cara agar hasilnya bisa optimal. Mulai dari cara elegan berupa “munajat” kepada Sang Khalik, misalnya dengan menggelar istighasah yang dilakukan setiap Jumat hingga menggunakan cara-cara curang dan menyimpang seperti berburu bocoran soal, sontek sana-sontek sini, hingga memperalat guru untuk terlibat dalam memberi jawaban kepada siswa.

Padahal ada yang lebih penting dari kontroversi diberlakukan Usek-UN dan itu seharusnya dijadikan panduan dalam membangun anak bangsa ke depan. Peran penting bagaimana memfungsikan sekolah dalam mendidik dan mencerahkan pola pikir anak-anak agar memiliki etos membaca, belajar, serta kerja keras.

Konsep penanaman keliru itu berimbas dengan munculnya kekhawatiran hingga anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan sekolah dan sosial yang semrawut. Mereka menjadi tidak memiliki visi kebangsaan berupa komitmen atas nilai-nilai kemanusiaan serta bangga atas prestasi diri dari ilmu yang kuat.

Etos dan semangat juang rendah ini berbanding terbalik dengan siswa-siswa di Jepang dan Korea Selatan. Mereka sejak dini sudah dilandasi konsep untuk memiliki visi global dan tekad serta kesiapan mental untuk belajar dan bekerja keras agar bisa ikut berkompetisi di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi dalam percaturan global.

Terninabobok
Anak-anak kita sudah lama terninabobok oleh berbagai slogan dan mitos yang hanya menipu dan hanya kamuflase belaka. Misalnyam Indonesia sebagai negara yang kaya raya, masyarakatnya hidup makmur, gemah ripah loh jinawi, religius, rukun, gotong royong, ramah tamah, tepo seliro, tanahnya subur, dan sekian banyak lagi slogan lain yang ternyata tidak ditemui oleh anak-anak dalam kehidupan nyata.

Pendidikan di negeri kita tampak karut-marut, kompetensi lulusan sekolah tidak jelas standarnya, ujian selalu bocor demi mengejar nilai, dan dampak yang menyertainya ketika mencari pekerjaan pun penuh dengan suap dan kolusi.

Mengingat proses pendidikan sampai mencari kerja yang dari hulu sampai hilir dipenuhi tindakan koruptif, pertemanan dan kolutif, bisa dimengerti mengapa bangsa ini habis energi dan sibuk mengatasi masalah, tetapi tak juga keluar dari keterpurukan.

Sistem pendidikan kita telah gagal melahirkan generasi yang memiliki visi dan misi yang benar. Komitmen mereka dirampas pola instan yang menjerumuskan. Meskipun di antara mereka ada anak-anak bangsa yang cerdas dan bermoral tinggi, namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena ketergantungan pada sistem yang salah dari para cukong berduit.

Sebagai pendidik dan sekaligus orang tua, penulis amat sedih membayangkan jika bangsa yang besar ini dikendalikan oleh orang-orang yang tidak memiliki visi kebangsaan dan tidak memiliki komitmen moral, serta tidak memiliki kompetensi keilmuan.

Mutlak diperlukan
Sekali lagi Usek maupun UN dilihat dari sisi kebermanfaatannya itu mutlak diperlukan, karena bisa mendorong sekaligus memotivasi siswa agar belajar lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar. Apakah UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa ataukah digabung dengan ujian akhir sekolah, itu sah-sah saja diperdebatkan.

Namun, kalangan pemerhati pendidikan menyayangkan pola yang salah dalam penempatan sistem tersebut. Negara lalai dan kurang perhatian terhadap bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah.

Sebagai komunitas, sekolah seharusnya menjadi learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga lingkungan sekolah yang juga merupakan lembaga katalisator mampu memfasilitasi siswa untuk menemukan dan mengembangkan bakat serta minatnya dengan disertai nilai-nilai moral yang luhur.

Kini, kesan yang mengemuka tentang sekolah bagai pusat kursus tanpa standar kompetensi dan moral yang jelas. Sehingga ketika mereka memasuki jenjang perguruan tinggi tidak menunjukkan keterampilan belajar (learning skill) serta komitmen moral yang jelas untuk membangun masa depan mereka sendiri.

Padahal, usia anak-anak SMP dan SMA merupakan tahapan formative years yang amat berpengaruh dalam menjalani hidup berikutnya. Pada usia inilah pembentukan karakter seharusnya memperoleh perhatian serius, antara lain militansi berupa cinta ilmu, komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, serta tertantang untuk hidup mandiri.

Merebaknya kecurangan dalam ujian, dan kecenderungan menitipkan harga diri pada selembar ijazah, banyaknya titel, dan ikut nebeng pada prestasi orang tua, semua ini menunjukkan terjadinya krisis kepribadian pada anak-anak kita. Hal ini juga mengindikasikan gagalnya pendidikan kita dalam arti luas, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Jika kondisi ini tidak memperoleh perhatian dan perbaikan serius, segera, dan mendasar, kita semua layak pesimistis melihat nasib bangsa Indonesia di masa depan karena baik yang memimpin maupun yang dipimpin sama-sama tidak memiliki kompetensi dan integritas untuk memajukan bangsa.

Semasa Orde Baru, masyarakat telanjur dimanjakan dengan gaya hidup konsumtif dan tidak memiliki etos kerja keras. Kini tiba-tiba kita semua kelimpungan ketika tersadar, semua kemewahan itu dibiayai dengan utang luar negeri dan hasil eksploitasi kekayaan alam.

Ketika situasi politik, ekonomi, dan bencana alam mengajak kita harus hidup prihatin dan bersiap menghadapi tantangan persaingan global, pemerintah dan masyarakat kebingungan. Kedaulatan dan kebanggaan sebagai warga Indonesia rapuh.

Sebagai kata penutup, prediksi ke depan bila kita tidak segera mengubah mindset bangsa ini akan semakin suram. Apalagi jika anak-anak kita tidak memperoleh pola pendidikan yang bermutu, baik dalam hal ilmu pengetahuan, keterampilan, pembentukan karakter, maupun wawasan kebangsaan serta ilmu humaniora atau kemanusiaan. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh Slamet Yuliono Guru SMP Negeri 1 Turen Kabupaten Malang

JELAJAH